Senin, 29 April 2013

Pembangunan Hutan di Indonesia

Hutan Indonesia dikenal kaya dengan berbagai kehidupan liar dan beragam tipe ekosistem (mega-biodiversity) serta mempunyai peran yang sangat penting sebagai sistem penyangga kehidupan dunia. Potensi tersebut menjadi perhatian dunia karena pentingnya hutan dilihat dari sisi sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Hutan Indonesia merupakan salah satu penggerak utama roda perekonomian nasional, yang memberikan dampak positif antara lain terhadap perolehan devisa, penyediaan lapangan kerja, mendorong pengembangan wilayah, dan pertumbuhan ekonomi.
Sektor kehutanan di berbagai daerah saat ini menghadapi masalah yang sangat kompleks. Hal ini terjadi karena peruntukan lahan oleh masyarakat yang tidak sesuai serta kebijakan kehutanan yang tidak terstruktur. Kebijakan pemerintah saat ini lebih memprioritaskan keuntungan di bidang ekonomi, tanpa memperhatikan aspek sosial dan lingkungan (ekologi). Akibatnya, hutan Indonesia mengalami deforestasi (kerusakan hutan dan ekosistem), termasuk areal hutan lindung. Indonesia memiliki kawasan hutan lindung seluas 32,43 juta Ha dari total areal hutan di Indonesia seluas 130,85 Ha. Menurut catatan Departemen Kehutanan tahun 2006, terdapat 24,78 persen dari total luas hutan lindung atau 6,27 juta Ha areal hutan lindung rusak parah. Bahkan, di antara hutan lindung itu telah menjadi lahan budidaya non-kehutanan, seperti budidaya tanaman kopi, cokelat, cengkeh, dan lada yang diusahakan masyarakat di sekitar hutan lindung. Perubahan penggunaan lahan hutan lindung ini mengakibatkan terganggunya fungsi hutan lindung yang ditandai penurunan tingkat penutupan lahan hutan lindung, peningkatan laju erosi sehingga kualitas tanah menurun, dan bencana alam.
Pemahaman masyarakat tentang hutan dan kebijakan sistem  pengelolaan yang diterapkan belum dapat berjalan optimal dan cenderung tidak terkendali, bahkan kebijakan pengurusan hutan masa lalu ternyata menyisakan banyak permasalahan, baik ekonomi, sosial  maupun lingkungan. Pengelolaan hutan yang tidak berpihak kepada masyarakat berdampak pada pola pikir masyarakat yang merasa tidak memiliki, sehingga tidak merasa perlu untuk turut terlibat mengelola hutan.
Kebijakan Otonomi Daerah (Otoda) juga menimbulkan berbagai masalah, antara lain terjadi ketimpangan pembangunan hutan di berbagai daerah menimbulkan kesenjangan sosial masyarakat. Kondisi tersebut disebabkan antara lain karena masyarakat masih memandang hutan semata-mata sebagai sumber pendapatan, terjadinya benturan kepentingan dan konflik pemanfaatan sumberdaya. Penyebab utama adalah pemanfaatan kawasan yang melampaui daya dukung kawasan, maraknya pemanenan dan perdagangan hasil hutan ilegal (illegal logging) serta lemahnya penegakan hokum. Selain itu, kawasan hutan juga banyak digunakan untuk menanam tanaman semusim dengan tanaman yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
Tata pemerintahan kehutanan merupakan titik awal bagi keterlibatan dan kerja sama pada setiap tema utama pembangunan : pembangunan pedesaan, pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, anti-korupsi, pendidikan, demokrasi, konflik, dan desentralisasi. Kebijakan kehutanan menyentuh isu dasar pengelolaan aset dan pilihan demokratis di hampir setiap wilayah kabupaten/kota di Indonesia yang menempati 70 % dari daratan Indonesia. Proses reformasi kebijakan kehutanan mengangkat isu nyata yang penting bagi ekonomi pedesaan dan rakyat miskin, membangun suara keterlibatan dan akuntabilitas, dan mempertemukan pemerintah dan masyarakat dalam membangun bersama praktek tata pemerintahan yang baik.
Peraturan perundangan Indonesia memiliki sasaran yang jelas untuk sector kehutanan : hasil ekonomi, distribusi keuntungan yang adil untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, perlindungan Daerah Aliran Sungai (DAS), dan konservasi. Sasaran-sasaran ini sejalan dengan kebijakan dunia pada pengelolaan hutan, yang dibangun berdasarkan tiga tujuan yang saling terkait : memanfaatkan potensi hutan untuk menurunkan kemiskinan, mengintegrasikan kehutanan pada pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, dan melindungi nilai global hutan. Untuk itu, sasaran tersebut harus sejalan dengan sistem pemerintahan yang ada saat ini.
Pengelolaan hutan mempunyai ruang lingkup yang luas. Hal yang perlu dilakukan terlebih dahulu yaitu : 1) menginventarisasi semua potensi yang dimiliki hutan Indonesia, termasuk jenis, jumlah, luas kawasan, daya dukung, batas-batas hutan lindung dan letak geografis; 2) perencanaan untuk memperbaiki lingkungan yang mengalami kerusakan, baik karena sebab alamiah maupun karena tindakan manusia; 3) perencanaan berdasarkan perkiraan dampak yang akan terjadi sebagai akibat pembangunan; 4) pengelolaan dilakukan secara rutin dan sesuai peruntukan, letak geografis, jenis, dan luasnya.
Pembangunan hutan ke depan memerlukan adanya perubahan orientasi pembangunan, dimana pengelolaan hutan ditujukan untuk pemulihan ekosistem sebagai sistem penyangga kehidupan dan mendukung kegiatan ekonomi jangka panjang. Selain itu, pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan sangat penting dilakukan. Dalam pengelolaan hutan, masyarakat diupayakan terlibat langsung berdampingan dengan pemerintah sebagai mitra kerja dan pendamping masyarakat (Aktualisasi Kebijakan Kehutanan, 2005).
Peningkatan secara strategis pada tingkat keterlibatan dan kerjasama adalah suatu kemajuan secara alamiah yang dapat diakomodasikan dengan sumberdaya yang sudah diidentifikasi, dan diletakkan sebagai pondasi untuk keterlibatan dan kerjasama yang lebih dalam, sejalan dengan kemajuan yang diperoleh. Untuk memperluas ruang diskusi tentang isu tata guna lahan dan akses, terutama menyangkut pengentasan kemiskinan dan investasi usaha kecil serta diversifikasi, dilakukan upaya-upaya mitra donor dengan masyarakat madani. Dalam rangka memberikan kontribusi terhadap upaya-upaya tersebut diperlukan peningkatan dialog dan analisa kebijakan.
Upaya penanganan harus dilaksanakan secara sistematis, terstruktur, berkelanjutan dan lintas sektoral. Hal tersebut dilakukan mengingat manfaat yang diperoleh dari hutan yang dikelola secara lestari baik berupa barang, jasa, kayu, dan atau non kayu tidak hanya dirasakan oleh masyarakat setempat, tetapi juga oleh semua pihak, lokal, nasional bahkan global (dunia) (Aktualisasi Kebijakan Kehutanan, 2005). Agar dapat dijadikan pegangan bagi semua pihak, diperlukan arah penyelenggaraan pembangunan hutan dalam jangka panjang. Perumusannya yang melibatkan pihak terkait khususnya masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar