Hutan Indonesia dikenal kaya dengan berbagai kehidupan liar dan beragam tipe ekosistem (mega-biodiversity)
serta mempunyai peran yang sangat penting sebagai sistem penyangga
kehidupan dunia. Potensi tersebut menjadi perhatian dunia karena
pentingnya hutan dilihat dari sisi sosial, ekonomi, dan lingkungan
hidup. Hutan Indonesia merupakan salah satu penggerak utama roda
perekonomian nasional, yang memberikan dampak positif antara lain
terhadap perolehan devisa, penyediaan lapangan kerja, mendorong
pengembangan wilayah, dan pertumbuhan ekonomi.
Sektor kehutanan di berbagai daerah saat ini menghadapi masalah yang
sangat kompleks. Hal ini terjadi karena peruntukan lahan oleh masyarakat
yang tidak sesuai serta kebijakan kehutanan yang tidak terstruktur.
Kebijakan pemerintah saat ini lebih memprioritaskan keuntungan di bidang
ekonomi, tanpa memperhatikan aspek sosial dan lingkungan (ekologi).
Akibatnya, hutan Indonesia mengalami deforestasi (kerusakan hutan dan
ekosistem), termasuk areal hutan lindung. Indonesia memiliki kawasan
hutan lindung seluas 32,43 juta Ha dari total areal hutan di Indonesia
seluas 130,85 Ha. Menurut catatan Departemen Kehutanan tahun 2006,
terdapat 24,78 persen dari total luas hutan lindung atau 6,27 juta Ha
areal hutan lindung rusak parah. Bahkan, di antara hutan lindung itu
telah menjadi lahan budidaya non-kehutanan, seperti budidaya tanaman
kopi, cokelat, cengkeh, dan lada yang diusahakan masyarakat di sekitar
hutan lindung. Perubahan penggunaan lahan hutan lindung ini
mengakibatkan terganggunya fungsi hutan lindung yang ditandai penurunan
tingkat penutupan lahan hutan lindung, peningkatan laju erosi sehingga
kualitas tanah menurun, dan bencana alam.
Pemahaman masyarakat tentang hutan dan kebijakan sistem pengelolaan
yang diterapkan belum dapat berjalan optimal dan cenderung tidak
terkendali, bahkan kebijakan pengurusan hutan masa lalu ternyata
menyisakan banyak permasalahan, baik ekonomi, sosial maupun lingkungan.
Pengelolaan hutan yang tidak berpihak kepada masyarakat berdampak pada
pola pikir masyarakat yang merasa tidak memiliki, sehingga tidak merasa
perlu untuk turut terlibat mengelola hutan.
Kebijakan Otonomi Daerah (Otoda) juga menimbulkan berbagai masalah,
antara lain terjadi ketimpangan pembangunan hutan di berbagai daerah
menimbulkan kesenjangan sosial masyarakat. Kondisi tersebut disebabkan
antara lain karena masyarakat masih memandang hutan semata-mata sebagai
sumber pendapatan, terjadinya benturan kepentingan dan konflik
pemanfaatan sumberdaya. Penyebab utama adalah pemanfaatan kawasan yang
melampaui daya dukung kawasan, maraknya pemanenan dan perdagangan hasil
hutan ilegal (illegal logging) serta lemahnya penegakan hokum.
Selain itu, kawasan hutan juga banyak digunakan untuk menanam tanaman
semusim dengan tanaman yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
Tata pemerintahan kehutanan merupakan titik awal bagi keterlibatan
dan kerja sama pada setiap tema utama pembangunan : pembangunan
pedesaan, pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, anti-korupsi,
pendidikan, demokrasi, konflik, dan desentralisasi. Kebijakan kehutanan
menyentuh isu dasar pengelolaan aset dan pilihan demokratis di hampir
setiap wilayah kabupaten/kota di Indonesia yang menempati 70 % dari
daratan Indonesia. Proses reformasi kebijakan kehutanan mengangkat isu
nyata yang penting bagi ekonomi pedesaan dan rakyat miskin, membangun
suara keterlibatan dan akuntabilitas, dan mempertemukan pemerintah dan
masyarakat dalam membangun bersama praktek tata pemerintahan yang baik.
Peraturan perundangan Indonesia memiliki sasaran yang jelas untuk
sector kehutanan : hasil ekonomi, distribusi keuntungan yang adil untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat, perlindungan Daerah Aliran Sungai
(DAS), dan konservasi. Sasaran-sasaran ini sejalan dengan kebijakan
dunia pada pengelolaan hutan, yang dibangun berdasarkan tiga tujuan yang
saling terkait : memanfaatkan potensi hutan untuk menurunkan
kemiskinan, mengintegrasikan kehutanan pada pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan, dan melindungi nilai global hutan. Untuk itu, sasaran
tersebut harus sejalan dengan sistem pemerintahan yang ada saat ini.
Pengelolaan hutan mempunyai ruang lingkup yang luas. Hal yang perlu
dilakukan terlebih dahulu yaitu : 1) menginventarisasi semua potensi
yang dimiliki hutan Indonesia, termasuk jenis, jumlah, luas kawasan,
daya dukung, batas-batas hutan lindung dan letak geografis; 2)
perencanaan untuk memperbaiki lingkungan yang mengalami kerusakan, baik
karena sebab alamiah maupun karena tindakan manusia; 3) perencanaan
berdasarkan perkiraan dampak yang akan terjadi sebagai akibat
pembangunan; 4) pengelolaan dilakukan secara rutin dan sesuai
peruntukan, letak geografis, jenis, dan luasnya.
Pembangunan hutan ke depan memerlukan adanya perubahan orientasi
pembangunan, dimana pengelolaan hutan ditujukan untuk pemulihan
ekosistem sebagai sistem penyangga kehidupan dan mendukung kegiatan
ekonomi jangka panjang. Selain itu, pelibatan masyarakat dalam
pengelolaan hutan sangat penting dilakukan. Dalam pengelolaan hutan,
masyarakat diupayakan terlibat langsung berdampingan dengan pemerintah
sebagai mitra kerja dan pendamping masyarakat (Aktualisasi Kebijakan
Kehutanan, 2005).
Peningkatan secara strategis pada tingkat keterlibatan dan kerjasama
adalah suatu kemajuan secara alamiah yang dapat diakomodasikan dengan
sumberdaya yang sudah diidentifikasi, dan diletakkan sebagai pondasi
untuk keterlibatan dan kerjasama yang lebih dalam, sejalan dengan
kemajuan yang diperoleh. Untuk memperluas ruang diskusi tentang isu tata
guna lahan dan akses, terutama menyangkut pengentasan kemiskinan dan
investasi usaha kecil serta diversifikasi, dilakukan upaya-upaya mitra
donor dengan masyarakat madani. Dalam rangka memberikan kontribusi
terhadap upaya-upaya tersebut diperlukan peningkatan dialog dan analisa
kebijakan.
Upaya penanganan harus dilaksanakan secara sistematis, terstruktur,
berkelanjutan dan lintas sektoral. Hal tersebut dilakukan mengingat
manfaat yang diperoleh dari hutan yang dikelola secara lestari baik
berupa barang, jasa, kayu, dan atau non kayu tidak hanya dirasakan oleh
masyarakat setempat, tetapi juga oleh semua pihak, lokal, nasional
bahkan global (dunia) (Aktualisasi Kebijakan Kehutanan, 2005). Agar
dapat dijadikan pegangan bagi semua pihak, diperlukan arah
penyelenggaraan pembangunan hutan dalam jangka panjang. Perumusannya
yang melibatkan pihak terkait khususnya masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar